Kamis, 12 Maret 2009

Tirani Istilah Nasionalisme

Harun Husein
Wartawan Republika

Semenjak peristiwa bentrokan antara massa Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas) 1 Juni lalu, meluncur pendapat-pendapat yang luar biasa memprihatinkan. Opini itu menggiring untuk membenturkan Islam dengan nasionalisme! Ada apa sebenarnya antara Islam dan nasionalisme?

Opini beraroma mengadu-domba itu bergulir hanya beberapa jam setelah peristiwa Monas dan makin kentara sehari berikutnya. Sampai Senin (16/6) lalu pun opini seperti itu masih terasa menyengat. Sejumlah tokoh bangsa ini masih berusaha meluruskannya demi menjaga integrasi bangsa agar tidak diarahkan menuju pertentangan kuno bernuansa ideologi dan aliran.

Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, misalnya, menyeru menghindari pengotak-kotakan ideologi Islam-nasionalis yang memberi kesan orang Islam tidak nasionalis dan sebaliknya kalangan nasionalis tidak Islami. Siapa pun yang ingin adu domba antara kelompok nasional dan Islam, sesungguhnya mereka melawan sejarah dan mengingkari sejarah Indonesia.

Bentrokan di Monas pada 1 Juni yang merupakan Hari Lahir Pancasila adalah sebuah fakta. Tapi, apakah cara membacanya merupakan sebuah serangan kepada Pancasila, kebhinekaan, dan nasionalisme? Tunggu dulu. Dalam ilmu fisika, pandangan seperti ini adalah paralaks, seperti melihat kayu di dalam air yang menjadi bengkok (atau mungkin sengaja ingin dibengkokkan?).

Persoalan tersebut jelas tidak bisa dijadikan konstatasi dan digeneralisasi ke dalam lingkup yang begitu dahsyat sebab peristiwanya memang memperlihatkan sebuah koinsidensi. Fakta-fakta di lapangan memperlihatkan tidak adanya kaitan simbolik bentrokan itu dengan Hari Lahir Pancasila. Lebih tepat menyatakannya karena faktor yang bersifat teknis.

Kepala Polres Jakarta Pusat, misalnya, justru menyayangkan massa AKKBB yang berdemonstrasi di Monas. Dalam pemberitahuannya mereka menyatakan hanya akan berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia. Hari itu banyak pihak yang memesan Monas untuk menyampaikan aspirasinya. Ada gerak jalan santai, ada demonstrasi antikenaikan harga BBM, dan lain-lain.

Tak perlu menggunakan logika canggih dan atraktif untuk melihat masalah itu. Bila dua massa yang berlainan aspirasi itu bertemu, tentu akan menciptakan efek psikologis yang menegangkan. Massa FPI dan AKKBB berbeda aspirasi dalam soal Ahmadiyah. Ditambah adanya provokasi berupa teriakan laskar setan dan intimidasi mengeluarkan pistol untuk menggertak massa FPI, bentrokan akhirnya sulit dihindarkan.

Bahwa FPI melakukan tindak kekerasan, hal itu memang patut disesalkan. Kekerasan tak mungkin ditoleransi di negara demokrasi yang menghendaki konflik diselesaikan dengan cara-cara damai. Tapi, ada aksi, ada reaksi. Entah siapa yang memulai, kepolisian tentu perlu menyelidiki dan merekonstruksinya dan menegakkan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu.

Ahistoris

Lalu, bagaimana dengan pembacaan peristiwa itu yang kemudian digiring sebagai perbenturan Islam dan nasionalis dengan aksentuasi seolah kalangan Islam tidak nasionalis? Pembacaan seperti itu luar biasa memprihatinkan, kegenitan, over-exploitative, tidak jujur, dan mencurigakan. Tepat seperti dikatakan Hidayat Nur Wahid,Mengingkari sejarah Indonesia. Ahistoris!

Opini yang mengesankan kalangan Islam tidak nasionalis jelas akan menyinggung perasaan sebagian besar anak bangsa. Sejak berabad lampau, umat Islam yang paling sengit melawan penjajah dan tak terhitung banyaknya fatwa yang menyatakan membela Tanah Air adalah wajib hukumnya. Ormas dan lembaga Islam yang dulu memobilisasi laskar untuk melawan penjajah bahkan masih berdiri tegak sampai saat ini, seperti NU dan Muhammadiyah.

Umat Islam (baca santri) sejak dulu bersikap nonkooperatif kepada penjajah. Mereka bukan kolaborator. Mereka bahkan menolak anak-anaknya masuk sekolah Belanda. Tak seperti sebagian kalangan netral agama yang menikmati pendidikan di zaman politik etis -- yang merupakan derivasi nasihat Snouck Hurgronye -- dan terbelandakan atau bergabung dengan republik pada saat jalan sudah terang.

Para intelektual non-Indonesia dan non-Islam bahkan tidak melakukan pengingkaran sewenang-wenang atas nasionalisme umat Islam. Setelah melacaknya secara jujur, mereka menyimpulkan Islam merupakan nasionalisme Indonesia. Tengoklah pernyataan Michael H Hart.Di Indonesia, agama Islam yang baru itu merupakan faktor pemersatu. (Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, hal 32).

Robert W Heffner, guru besar antropologi Universitas Boston, AS, mengutip sejarawan Sartono Kartodirdjo, menegaskan bahwa Islam yang menjadi definisi intelektual dan ideologis perlawanan saat itu.Islam tidak dipandang sebagai pembeda satu segmen masyarakat dari segmen masyarakat lainnya, melainkan dipandang sebagai penyuplai definisi politik menyangkut identitas nasional dan fokus perlawanan terhadap penguasa kolonial. (Keadaban Demokrasi: Refleksi Tentang Beberapa Prasyarat Bagi Terwujudnya Civil Society di Indonesia dalam Islam Liberalisme Demokrasi, hal 374).

Tengok pula pendapat Sidney Jones. Dia menyatakan pada abad ke-19 dan 20, seiring beralihnya kontrol perdagangan Samudra India ke tangan bangsa Eropa, menurunnya penggunaan bangsa Arab, dan pengaruh internasional, tak lagi dipersepsi seperti pada abad ke-17. Umat tak lagi diperuntukkan bagi Muslim yang saleh di Nusantara dan seluruh dunia Islam, tapi menyempit sebatas Hindia. (Yudi Latif, Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia dalam Islam, Negara, dan Civil Society, hal 117). Pernyataan itu mengindikasikan Islam sebagai nasionalisme Hindia.

Tentu tak cukup mengguyurkan semua pernyataan senada di tulisan ini. Tapi, baiklah kita tengok kebenaran tesis Islam sebagai nasionalisme Indonesia itu secara empiris lewat hasil Pemilu 1955. Saat itu dari 15 provinsi, 12 di antaranya dimenangkan oleh partai Islam: Masjumi (sembilan provinsi), NU (dua provinsi), dan PSII (satu provinsi). PNI hanya menang di dua provinsi: Jawa Tengah dan NTB. Satu daerah lainnya, yaitu NTT, dimenangkan Partai Katolik. Tak berlebihan bila partai-partai Islam disebut partai yang paling Indonesia. Ini bukti faktual!

Karena itu, penggiringan opini untuk membenturkan Islam dengan nasionalis wacana tidak bermutu, rabun sejarah, dan Islamofobia. Dikotomi itu -- juga trikotomi Geertz tentang abangan, santri, priyayi-- semakin tidak relevan. Sejak 1980-an ketika Islamofobia mulai mundur dari pentas, muncul generasi baru: neosantri. Mereka yang dulu disebut sebagai Islam KTP, Islam nominal, telah bertekun mempelajari warisannya yang berharga: Islam.

Tentu saja itu tidak lantas menjadikan mereka tidak nasionalis. PDIP pun kini sudah punya Baitul Muslimin. Tak ada yang salah kan?

Jadi, tak perlu menjadi Pancasilais munafik seperti orang-orang PKI tempo dulu. Mereka lantang menuding umat Islam anti-Pancasila. Padahal, Pancasila ditinjau dari sudut mana pun lebih kompatibel (serasi/cocok) dengan Islam dibanding dengan Marxisme-Leninisme -- bahkan juga dari semua agama di Indonesia. Jadi, tak perlu lagi menjadi (maaf) nasionalis munafik!

Sudah saatnya Islam-nasionalis diakhiri. Istilah itu tidak objektif dan bernuansa devide et impera. Setelah digunakan Belanda, belah bambu itu hendak pula digunakan oleh bangsa sendiri. Adalah lebih tepat mengenalkan istilah yang digunakan tokoh seperti Sjafii Maarif atau Azyumardi Azra: nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Titik.

Setelah itu barulah kita menyelesaikan masalah-masalah bangsa ini, termasuk soal Ahmadiyah yang sudah terlalu lama menjadi duri dalam daging, dalam bingkai keislaman (karena ini masalah internal umat Islam), keindonesiaan (karena ini masalah bangsa), konstitusi, dan demokrasi.
Sabtu, 21 Juni 2008/Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar